Selasa, 30 Agustus 2011

KITA ADALAH OMBAK

Kita adalah ombak
Kejar mengejar menerjang karang
Pecah berderai menjadi buih
Sedang karang angkuh  bergeming
                                                                                                                              24 Agustus 2011

PENYESALAN DALAM DENDAM

merah
merah
merah darah
senandung merah

dendam  menjadi noktah
jangan biarkan jiwa resah
kala jiwa terbaring lemah
di atas altar berdarah


pagi dingin terasa gerah
madah kian tak terarah
karena hati resah
kecawaku, emas berzirah

senyum terukir di bibir rembulan
cibir nyinyir nista ditelan
jiwa hitam terus berjjalan
menuju peraduan sang rembulan

dendam mengeram
coba diredam
dan terpasung di ruang temaram
pada akhirnya hati yang karam.

Pedih hati tak terperi
Tertatih jiwa berdiri
Menggali kubur asa yang mati
Dibunuh cinta berduri

O dewi peminta cinta mati
Kau bunuh rasa sejati
Terbujur binasa di palung hati
Membusuk benci menjadi-jadi

O insan pengagum cinta sejati
Jangan tertipu muslihat sumpah mati
Dusta, tidak ada cinta sejati
Cinta tidak sepenuhnya memberi

Wahai insan pemuja cinta sejati
Bodoh bila ikrarkan sumpah mati
Fikir bila maut bernyanyi
Akan kekasih turut mati

Wuahahahahaha!
Bodoh, sumpah mati itu dosa
Dilaknat Yang Kuasa
Batin juga kan tersiksa

Dewi pembawa luka
Lihatlah aku semakin gila
Serapah kian jumawa
Pasung jiwa dalam dosa

Ya Allah Yang Maha Kuasa
Aku hanya insan hina bernoda
Berapa lama derita mendera
Terlalu pedih batin terluka

Ya Allah Yang Maha Kuasa
Padamu jua kumeminta
Hamba-Mu berlumur dosa
Mohon ampuni jiwa hamba

Astaghfirullah hal adzim
Ya Rohman Ya Rohim
Jauhkan hamba dari perbuatan dzalim
Juga dari sifat lalim

Ya Allah ya Robbi
Aku lebur dalam tipu duniawi
Aku lalai dalam mengabdi
Terimalah taubat pensuci diri

Ya Allah pada-Mu kumengadu
Mohon petunjuk dan Ridho-Mu
Kuserahkan jiwa dan ragaku
Jauhkan hamba-Mu dari sifat meragu

Ya Allah tuhanku Robbi
Sesungguhnya hamba-Mu telah merugi
Dendam telah memasang hati
Beri kesempatan tuk benahi diri

Ya Allah pencipta jagat raya
Engkau beri siang pada dunia
Pada-Mu kumeminta
Penuhi kalbuku dengan cahaya

                                    24 April 2011

TIRANI YA’JUD DAN MA’JUD

Riuh bernyanyi senandung Ya’jud dan Ma’jud
Tentang perdamaian
Berenda kuasa
Amanah Dajjal
Merompak
Menindas
Menggilas
Beringas
Binal
Memperkosa
Moleknya perawan

Adikuasa bertangan besi
Menjamah liar
Penuh birahi binal
Pada kemulusan mayapada

Sempurna perdamaian
Sempurna keadilan
Di atas penindasan rimba

Tapi, semangat tetap berkobar
Memeluk jasad bertebaran
Di tanah terkutuk
Jazirah perang abadi
Sejak zaman para nabi


Laksana detikdetik waktu
masih berdetak semangat dalam nadi
Menentang ajal dengan berani

Elang dan gagak melintas
Hilir mudik berak di atas lautan darah
Kurakura muntahkan dentuman
Menggema paduan suara kematian

Seorang anak manusia berlari
Menyonsong maut
Membunuh takut
Dengan nyali berapi
Berteriak lantang
Menatap langit

“Tuhan di mana kebenaran?
Di mana pasukan ababil-Mu?
Kirimkkan segera
Libas habis pengikut dajjal
Seperti musnahnya pasukan gajah”

Menatap lautan darah yang mendidih
Dalam geram menerjang
Angkat senjata ke medan perang
Walau peluru bersarang di dada
Walau raga lebur jadi debu
Namun semangat tidak akan mati
Tetap menjadi energi
Di tanah berdarah syahid

                                                    25 Mei 2011

DAUN DAN ULAT PENGURAI

Lihatlah saudaraku
Daun hijau, segar
Perlahan menguning, gugur
Melayang mendarat di tanah

Pengurai-pengurai romantis tersenyum
Menyambut daun penuh kerinduan
Memeluk memagut erat
Berderai pada puncak klimaks
Lebur menjadi humus

Daun musnah
Pengurai mati
Tinggal kecambah dan tunas belia
Tinggal embrio dalam tapa larvarium
Generasi baru

Pelepat, 21 Juni 2011

TARIAN BAYANGAN DALAM RINDU

Bayangmu gemulai menari di benak
Sudah berapa waktu, ini rindu terpendam
Membujuk merayu batin tuk pulang ke dekapanmu
Rindu ini buatku gelisah
Menjadi candu, mementahkan rasa

Bungo, 03 Juni 2011

SESAL DALAM KEPEDIHAN

Dinda rayuan jiwa
Lihat!!!, kuterus berjalan pada lorong hampa
Tanpa persimpangan
Tempat bersinggah
Kosong,


Inikah sebuah epilog
Tidak dinda, kecewa masih meracau
Jadi igauan kicauan berderai


Dinda, senyummu itu abadi dalam kebekuan maha pedih
Takkan terpahami oleh nalurimu tentang  rasa menyayat
Tentang tawa renyah patah jelma air bah
Dermagaku runtuh
Setiaku lebur berkeping


Dinda lembut suaramu tika bibir mungilmu teriakiku “jadah!”
Memucak panas bara memanggang ubunubun
Haram takkan kupinta maafku padamu
Walau sekarang redup mata pualammu, berdebu
Menanggung sesal tak berkesudahan
Sumpahku takkan kembali
Sebelum sujudmu jatuh padaku


Cukup! Bukanlah boneka ragaku untukmu
Takkan kutelan ludah yang tumpah
Sudahlah, lekas lindang hapus dari mukaku
Dan ku terus berjalan dalam berserah


Wahai Yang Maha Mendengar
Wahai Yang Maha Pengasih
Wahai Yang Maha Penyayang
Utus malaikat pencatat,
Ini dosa maha dalam,
Telah berpuluh sakit membunuh sakit,
Atas mudarat sumpah berpenyakit,
Telah pula kubunuh anugerah-Mu,
Ialah cinta kasih berkasih, yang katanya adil
Tapi, ternyata hanyalah racun memabukkan
Keindahan semata bunga hitam taman neraka jahanam


Bila ini dosa berbunga
Pisahkan raga dan ruhku
Agar tak berkembang
Utus algojo-Mu
Cabut nyawaku
Agar tak bertambah virus jiwaku


Pelepat, 29 juni 2011

Senin, 15 Agustus 2011

SAJAK BUAT R.A

Bahwa langitmu baru saja cerah
Dari mendung dan kabut merusak mata
Rancak bianglala menghias bibir cakrawala
Sirna, kala gerhana membunuh bulan sabit
Pekat malam mengigil yang basah
Resah memeluk gundah

Sekuntum mawar tidak lagi harum semerbak
Tercabut paksa dari taman hati
Saat berpuluh kumbang terbang merapat
Hinggap ikut menikmati harum yang mengusik
Sungguh klasik ceritera terurai

Bahwa taman ini tidak lebih indah
Layaknya taman di kerajaan langit
Intan berlian menjadi penghias setiap pagar pelindung
Serta mengalun kidung merdu asmara
Anggun kelopak bermekaran
Menghiasi singgasana

Teriakan resah hanyalah gema di palung jiwa
Hingga parau suara tak terdengar
Karena lidah dingin membatu
            “Aku sayang kamu!”
Tiga kata menembus langit
Tidak juga sampai
Apalagi terurai menjadi butiran penyejuk

Hanya ada sakit tersisa memeluk angan
Tercekik harapan menyumbat kerongkongan
Senyuman terjerat fatamorgana
Peluk dan kecupan mesra cuma menjadi uap
Mengkristal di udara kenangan
Berbalik memukul, menerjang, menghantam
Ripuk batin tersandar
Hancur lebur segala cipta rasa

Bukanlah emosi terurai
Bukanlah egois bernyanyi merdu
Bukanlah kejuran membuih kebohongan
Kononlah pengadian tak terlukis
Bila sketsa senyuman bermata belati
Pembantaian rasa
Sesal berkalang rindu bertahta kesumat

Duh! Taman keindahan jiwa diterpa badai
Ketulusan terhalang silaunya kesangsian.


                                                Bungo, 13 Agustus 2011

Rabu, 10 Agustus 2011

SENANDUNG KURCACI



Desah-desah waktu kian santer bersenandung
Mencumbu gedung-gedung kokoh, berdiri angkuh
Bunting,
Dan melahirkan tikus-tikus lincah
Rakus,
Memamah petak-petak gersang
Ramai,
Memadati koridor metropolis
Kucing-kucing tertidur lelap
Beralaskan permadani pengemis

Roda-roda gila adikuasa
Liar menggilas rumah jamur para kurcaci
Melumat, mencipta padang gersang

Ah, keadilan mendengkur pulas
Tak terusik isak serak

Hingga membuih derita
Di samudera air mata.

Muara Bungo, 27-02-2011

Selasa, 09 Agustus 2011

RAMAH TAMAH MENJELANG PANEN


Halalaaaaaaaaaaaaaaahh…!
Lantang sekali teriakanmu di atas podium kebesaran
Tentang manisnya demokrasi
Menjadi rekonstruksi sosiodemokrasi
Pengabdian berjubah kapitalisme
Kau susun scenario drama
Berkerangka keindahan bangsa yang damai
Berkisah indahnya kebun-kebun bunga
Membelah di tengah-tengahnya sungai madu
Di tanah para proletariat

Oi tuan…!
Elok nian permainanmu
Di sebuah adegan singkat
Kala kelengahan membuai jiwa
Kala kelengahan membutakan nurani
Diam dan perlahan-lahan
Tangkai demi tangkai
Kau petik bunga-bunga pengorbananmu
Lalu kau letakkan pada pot-pot penghias istanamu
Panen telah tiba, dan kau tersenyum

Di kursi malas
Dengan santai, seraya menikmati sebatang cerutu
Kau saksikan adegan-adegan air mata kebodohan
Selayaknya siaran radio, kau dengarkan nyanyian derita budakmu
Hingga terkantuk-kantuk kau sambut mimpimu
Kemenangan culas di balik senyum ramah tamah

Jkt, 17 Juli 2011

DI SEBUAH RUANGAN

Di ruangan apak ini
Ada nafas-nafas perkasa
Matanya liar menembus temaram pelita kerdil
Berselancar bibir meracau
Mengeja aksara demi aksara bangku sekolah
Yang ia copy dari papan tulis
Dari sebuah gedung sekolah yang tua

Sesekali ia bermain pula
Pada halaman-halaman surat kabar lusuh
Yang ia pungut di pinggir jalan
Ingin mengintip dunia katanya
Ingin melihat kisah-kisah terkini
Meski para lakon tak berubah
Masih para tauke pembeli kursi mewah
Riang bernyanyi pembebasan

Ada juga pak tani
Masih setia pada perlengkapan pertanian
Warisan termahal para leluhur
Panen raya adalah mimpinya
Yang sesaat menjelma mimpi buruk
Wabah impor menjadi hama
Lesu

Juga ada buruh dan kaum jalanan
Artis yang diidamkan para algojo metropolis
Minta tanda tangan dalam ruangan pengap
Pencemaran mata harus diobati, katanya

Ah, berat nafasnya dibalik senyum
Besok, akukan jadi apa?


Jakarta, 23 Juli 2011